10/27/2007

Sahabatmu; Surgamu ataukah Nerakamu

Perlu kiranya kita melihat teman-teman yang selalu berada di antara, karena mereka akan selalu mengikuti setiap saat dalam perjalanan kita. Perlu kita ingat bahwa seseorang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mencari teman sama halnya dengan mencari surga ataupun neraka.
Berkaitan dengan hal ini, perlu kiranya kita melihat kembali dua contoh persahabatan di masa Rasulullah saw., yang pertama adalah sahabat yang buruk, yang menghancurkan sahabatnya hingga masuk ke neraka, dan kedua adalah sahabat yang Shalih, yang memberi kebahagiaan kepada temannya, dan menghantarkannya ke surga.
1. Uqbah bin Abu Mu`ith
Uqbah adalah sahabat dekat Abu Jahal Amru bin Hisyam. Dalam suatu kesempatan, Abu jahal melakukan perjalanan jauh. Pada saat yang bersamaan Uqbah bin bin Abu Mu`idz mendengar Rasulullah saw. sedang membca al-Qur`an. Saat itulah, ia tertarik pada Islam dan mengikrarkan diri menjadi bagian dari umat Rasulullah saw.
Saat Abu Jahal kembali dari perjalanannya, ia menemui Uqbah dan mengingatkan kepadanya agar tidak sampai meretakkan tali persahabatan yang telah terjalin. Ia juga menyuruhnya untuk menemui Rasulullah saw. dan meludahinya. Uqbah pun merenung sejenak, membandingkan antara ke duanya; tetap dengan keyakinan barunya, Islam ataukah kembali pada kekufuran dan tetap bersahabat dengan Abu Jahal. Hingga pada akhirnya ia menentukan pilihannya untuk kembali pada Abu Jahal dan menentang ajaran Rasulullah saw. serta menyakiti beliau. Tidak ada orang yang paling kejam dan paling keras memusuhi Rasulullah saw. yang sepadan dengannya. Berkenaan dengan hal ini, Allah swt. menurunkan ayat, "Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari al-Qur`an ketika al-Qur`an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (al-Furqân [25] : 28-29)
Inilah kerugian besar yang dialami Uqbah bin Abu Mu`ith, baik di dunia maupun di akhirat. Diapun masuk ke dalam neraka sebab sahabatnya, Abu Jahal.
2. Iyasy bin Abu Rabi`ah
Iyasy adalah sahabat Umar bin Khatab. Saat mereka berdua hijrah dari Mekah menuju Madinah, di tengah perjalanan ia disusul oleh Abu Jahal karena ia tergolong orang yang terpandang, dan Abu Jahal merasa khawatir jika hijrahnya ke Madinah akan diikuti penduduk Mekah. Abu Jahal mengejarnya di belakang sambil memanggil, lalu berkata kepadanya, "Ibumu telah berjanji untuk tidak makan, tidak mau masuk ke dalam rumah, dan tidak akan mandi sampai engkau kembali menemuinya."
Saat itu, Iyas menaiki kuda bersama Umar bin Khatab dan berada dibelakangnya. Seketika itu juga, Iyasy ingin melompat dan menemui ibunya. Umar berkata kepadanya, "Jangan engkau khawatirkan keadaan ibumu, jika ia merasa kepanasan, pasti ia akan masuk ke dalam rumah dan jika kutu telah banyak di kepalanya, pasti ia akan mandi." Tapi Iyas tetap ingin menemui ibumu. Lantas Umar berkata kepadanya, "Bawalah unta ini dan temui ibumu, setelah itu susul aku ke Madinah!"
Sesampainya di Mekah, Iyas mendapat siksaan dari kaumnya sampai ia menanggalkan keyakinannya terhadap Islam dan kembali pada kekufuran.
Umar bin Khatab tidak pernah putus asa untuk mengajaknya kembali pada Islam. Sampai setiap kali ada ayat yang turun, ia mengirimkannya kepada Iyas. Salah satu ayat yang dikirim Umar kepadanya adalah firman Allah swt., "Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (az-Zumar [39] : 53)
Ayat ini sampai juga ke tangan Iyasy dan iapun membacanya. Saat itulah ia menangis dan segera mengambil kuda lalu menungganginya untuk menyusul Umar bin Khatab ke Madinah dan kembali pada pangkuan Islam. Dia selamat dari api neraka karena sahabatnya.
Kesimpulannya, kalau kita menginginkan kebahagiaan, kedamaian, dan selamat dunia akhirat, kita mesti memilih teman yang shalih yang sealu mendorong kita untuk melakukan kebajikan dan mengabdi dengan sesungguhnya kepada Rabb semesta alam. Namun, kalau kita memilih kesengseraan, kegelisahaan dan dihinggapai rasa was-was, maka ...

BACA SELENGKAPNYA!

10/18/2007

Meneladani Dakwah Rasulullah

Dakwah memiliki kiat dan cara tersendiri sebagaimana layaknya seorang ahli bengunan yang dituntut untuk memiliki keahlian dalam bidang bangunan. Juga seorang insinyur yang harus memiliki kepandaian dalam merancang. Seorang dai harus memperhatikan dakwahnya dan memiliki beberapa kiat sehingga apa yang disampaikanya dapat diterima dengan baik oleh mad’u dan mengena, karena dakwah adalah warisan Rasulullah saw. Karena itu, sudah semestinya seorang dai harus mempelajari bagaimana dakwah harus diemban, unsur penopangnya, dan hasil yang ingin dicapai. Kekuatan iman kepada Allah swt. harus tertanam dalam diri seorang dai, dan tahan atas segala tantangan yang menghadangnya, karena dakwah merupakan warisan dan amanah yang diembankan para nabi dan rasul, dan mereka adalah sosok manusia yang senantiasa memegang amanah dan begitu tabah saat ujian, musibah dan rintangan ketika menyampaikan dakwahnya.
Dari pemahaman di atas dapat dikatakan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh seorang dai akan sangat berpengaruh sekali terhadap umat yang didakwahinya. Apa langkah dan kiat yang mesti kita –sebagai seorang dai- dipersiapkan agar dakwah kita dapat diterima dan bisa membawa atsar yang positif terhadap uamt yang kita dakwahi. Berikut 30 kita yang dapat dapat mendukung kesuksesan dalam dakwah yang kita jalani, sebagaimana yang diuraikan oleh Dr Aid Abdullah al-Qarny dalam buku beliau yang bertajuk “Tsalatsuuna waqfah fi fannid dakwah”:
Ingin memiliki bukunya yang sudah diterjemahkan? Silahkan dowload di sini. Gratis 100%.

BACA SELENGKAPNYA!

Kesuksesan yang Hakiki

Dalam hidup di alam yang fana ini, kita harus menentukan tujuan hidup yang yang kita jalani. Dan tujuan yang ingin kita gapai mesti mempunyai nilai yang tinggi, karena hidup amatlah mahal dan tidak ada kata kembali saat mengucapkan selamat berpisah padanya. Tidak ada penyesalan yang paling besar dan tidak bisa diganti dengan apapun selain penyesalan atas umur (yang tersia-siakan).
Untuk itulah, sudah seharusnya tujuan hidup bagi seorang muslim adalah keridhaan Allah swt., kasih sayang dan juga surga-Nya. Suatu ketika, Rasulullah saw. pernah meminta kepada seorang pemuda untuk mengemukakan keinginan yang terpendam dalam lubuk hatinya. Sang pemuda pun meminta Rasulullah saw. agar diberi waktu sejenak untuk berpikir. Ia berkata pada dirinya sendiri, semua kenikmatan dunia akan sirna. Setelah itu, ia kembali menemui Rasulullah dan berkata kepada beliau., "Wahai Rasulullah, aku minta kiranya kelak aku dapat berkumpul bersamamu di surga."
"Apakah engkau mempunyai permintaan yang lain?" tanya Rasulullah.
"Tidak, aku tidak menginginkan apapun selain itu, wahai Rasulullah," jawab pemuda itu.
Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Kalau begitu, bantulah aku agar dapat menolongmu dengan memperbanyak sujud."
Begitu tinggi dan agung tujuan hidup yang telah ditetapkan oleh pemuda ini. Lantas, apakah kita telah menentukan tujuan dari kehidupan yang kita jalani sebagaimana tujuan hidup yang telah ditetapkan oleh sang pemuda ini? Ketahuilah bahwa dengan menentukan tujuan dari kehidupan yang kita jalani sekarang, ia dapat meringankan beban derita yang kerap kali menimpa kita, juga dapat menjadikan hidup ini lebih bernilai dan berarti.
Setiap orang yang berakal, ia akan menentukan tujuan hidupnya dalam setiap langkah kakinya. Ia tidak akan berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dalam setiap aktivitas pasti ada tujuan yang ingin dicapai, begitu halnya dengan sebuah pernikahan. Dan dibalik semua tujuan itu, ada tujuan inti dan yang paling utama yaitu menggapai keridhaan Allah swt. dan surga-Nya. Tentunya, untuk menggapai tujuan itu perlu disertai dengan mujahadah (keseriusan) dan pengorbanan. Lantas apakah kita sudah menentukan tujuan hidup yang kita jalani, dan sudahkah kita berkorban untuk menggapainya?
Dalam buku yang berjudul “Raahatu Qulubisy Syabaab” buah karya Amru Khalid diuraikan beberapa hal yang mesti menjadi tujuan dalam hidup yang kita jalani, juga beberapa kiat agar kita mampu menjalani keidupan –apapun keadaannya-dengan lapang dada dan uapaya meningkatkan keyakian kita Alah swt.
Tertarik untuk memiliki bukunya yang telah diterjemahkan? Silakan dowload di sini. Gratis 100%.

BACA SELENGKAPNYA!

10/10/2007

Saat Lebaran Tiba

Menyambut hari raya bukanlah dengan mengenakan pakaian serba baru, bukan pula dengan berbangga diri, mengisi hari-hari dengan nyanyian, hiburan, atau kegiatan yang tidak bermanfaat. Menyambut hari raya harus diwujudkan dengan memanjatkan syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan; yang telah memberikan kemampuan untuk bisa melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadhan dan dengan saling bersilaturahmi di antara sesama.
Saat kita berhari raya (idul fitri) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
  1. Makan terlebih dahulu di pagi hari ‘idul fitri sebelum melaksanakan shalat ‘id. Makannya cukup dengan mencicipi beberapa butir kurma ataupun makanan yang ada sebagai tanda kepatuhan terhadap perintah Allah untuk berbuka, sebagaimana kepatuhan kita kepada-Nya untuk menjalankan puasa.
  2. Mengeluarkan zakat fitrah yang berfungsi menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan hina dan kotor, juga berguna untuk membantu orang-orang fakir, menghidupkan nuansa saling tolong-menolong dan saling berkasih-sayang di antara kaum muslimin, menyucikan jiwa, dan menghilangkan sifat bakhil.
  3. Mengenakan pakaian yang paling bagus yang kita miliki punya dan memakai wewangian sebagai pengakuan diri atas keindahan zat Yang Maha Indah, Maha berkah dan Mahatinggi, serta berhias untuk-Nya, karena Allah swt. itu indah dan mencintai keindahan. Di samping itu, berfungsi untuk menampakkan karunia Allah swt. yang diberikan kepadanya. Dalam hadits hasan, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah senang melihat nikmat-Nya tampak pada diri hamba-Nya.” HR Tirmidzi
  4. Hendaknya kita saling mengunjungi, saling berucap salam, saling mengikhlaskan, dan saling mengasihi.
  5. Saat hari raya tiba, kita sebagai umat Islam menyambutnya dengan suka cita, tapi tetap harus tetap dalam bingkai syariat, tidak terlalu berlebihan; bercanda dengan santun, berkelakar dengan lembut, senyum yang ramah, berekreasi ke tempat yang mubah (tidak melanggar syariat), dan mampu menjadikan tempat rekreasi sebagai sarana untuk memikirkan kuasa Allah atas alam ciptaan-Nya yang begitu indah sehingga imanpun dapat semakin kuat dan ketakwaan kepada-kian semakin meningkat.
  6. Hari raya mengingatkan kita pada hari dibangkitkannya manusia dari alam kubur, saat seluruh manusia dikumpulkan; yang kaya dan yang miskin, yang besar dan yang kecil, yang memimpin dan yang dipimpin, yang beruntung dan yang sengsara, juga yang bahagia dan yang sedih untuk mempertanggungjawabkan segala sepak terjang dan prilaku semasa hidup di dunia.
Setelah semalam penuh kita mengagungkan asma Allah dengan melafalkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil, di pagi harinya kita pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat hari raya. Dan seusai kita melaksanakan shalat ‘id, kita kembali ke rumah masing-masing, dan di antara mereka yang turut shalat, ada dua kelompok manusia:
Pertama, kelompok yang beruntung dan berbahagia. Mereka yang memperoleh pahala dan mendapat ridha Allah. Allah swt. berfirman kepada mereka, “Pulanglah kalian dalam keadaan telah diampuni; sungguh kalian telah ridha kepada-Ku, dan Aku pun ridha kepada kalian.”
Yang kedua, kelompok yang merugi, di mana ia kembali dengan putus asa, kerugian, penyesalan, dan nasib yang buruk.
Ada seorang yang saleh pernah lewat di depan sekelompok orang yang gemar bermain dan berhura-hura di hari raya, ia berkata kepada mereka, “Jika kalian beramal baik di bulan Ramadhan, maka ini bukan cara bersyukur yang baik; sedangkan jika kalian beramal buruk di bulan Ramadhan, maka bukan begini cara bersikap orang-orang yang telah berbuat buruk kepada zat yang Maha Pengasih.”
Umar bin Abdul Aziz pernah melihat sekelompok orang yang berlomba-lomba dalam penampilan dan kendaraan mereka sepulangnya dari wuquf di padang ‘Arafah, seiring terbenamnya matahari. Umar pun berkata, “Bukanlah pemenang di hari ini orang yang kuda atau untanya lebih unggul, tapi seorang pemenang adalah orang yang dosa-dosanya diampuni.”
Saudaraku, kita mesti merenungkan kembali orang-orang shalat ‘id bersama kita pada hari raya yang telah berlalu; Ayah dan ibu, kakek dan nenek, orang-orang yang kita cintai, dan kawan-kawan. Di manakah mereka saat ini? Ke manakah mereka pergi? Ke manakah mereka pindah? Karena itu, mari kita siapkan bekal untuk melanjutkan perjalanan menyusul mereka yang berangkat lebih dulu.
Ya Allah terimalah amal ibadah kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dan ampunilah segala dosa kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.

BACA SELENGKAPNYA!