11/13/2007

Anak adalah Anugerah Allah

Sesungguhnya anak merupakan anugerah yang sangat besar dan tidak bisa dibandingkan dengan apapun nilainya bagi orang yang kehilangan anak. Rasa syukur atas anugerah yang besar ini harus dipanjatkan kepada dzat yang telah menganugerahkannya, dan bentuk syukur itu adalah dengan memberikan pendidikan dan penjagaan yang baik dan benar sesuai dengan syari'at, lantas bagaimana bentuk pendidikan dan penjagaan itu?
Sesungguhnya anak merupakan anugerah yang telah Allah swt. berikan kepada kita. Allah juga menjadikannya hiasan dalam rumah kita, dan memberikan otoritas kepada kita untuk menjaga, merawat dan mendidiknya. Maka, suatu kewajiban bagi kita untuk memberi pendidikan yang terbaik kepadanya dan penjagaan secara serius. Rasulullah saw. dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, seorang pejabat adalah pemimpin, seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suami dan anak-anaknya, dan kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”. (HR Bukhari dan Muslim)Lantas pendidikan dan penjagaan macam apa yang dikehendaki Allah saw.? Dalam Islam, penjagaan dan pendidikan itu di mulai sebelum terjadinya akad pernikahan, sebagaimana yang telah diwasiatkan oleh Islam dengan memilih seorang istri yang shalihah, karena istri yang shalihah itu akan mampu memberikan keturunan yang baik. Islam memulainya dengan memilih keshalihan seorang istri sebagai langkah pertama untuk mendapatkan keturunan yang baik. Hal ini secara jelas dapat disimak dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, beliau bersabda, “seorang wanita dinikahi karena empat alasan; karena hartanya, kecantikannya, keturunannya dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, maka kamu akan menggapai kebahagiaan"
Istri yang shalihah bagaikan tanah subur yang layak untuk ditanami. Lalu seusai akad pernikahan, selanjutkan Rasulullah saw. memberi pengarahan beberapa hal yang menjadikan faktor keshalihan seorang anak sebelum mereka berada dalam kandungan ibunya. Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian ingin menggauli istrinya, hendaknya ia berucap, 'dengan nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami '. Maka, jika Allah menjadikan dari keduanya anak, ia tidak akan terganggu oleh syetan selama-lamanya”
Hadits di atas menjadi dasar akan keberkahan penyebutan nama Allah dan pentingnya doa. Dalam doa tersebut terkandung penjagaan dan permohonan keberkahan dengan nama Allah dan pengakuan bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah dzat yang memberi kemudahan dan pertolongan. Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa Dzikrullaah (ingat kepada Allah) dapat mengusir gangguan syetan.
Hal lain yang menjadi dasar perhatian Islam terhadap penjagaan anak secara baik adalah dengan mendoakannya. Doa kepada Allah merupakan manhaj yang sering kali dipakai oleh para nabi dan orang-orang shalih setiap memulai aktifitas. Nabi Zakariya pernah memanjatkan doa kepada Allah sebelum ia dikarunia anak. Allah swt. berfirman, “Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa ” (Ali Imraan 3 : 38).
Lihatlah pada kalimat “seorang anak yang baik” dalam ayat di atas. Sesungguhnya tidak ada yang diharapkan Nabi Zakariya selain anak yang baik.
Al-Qur'an juga menggambarkan permohonan putri Imran; ibu Maryam ‘alaihas salaam. Bagaimana ia memohon kepada Allah pada saat hamil dan setelah kelahiran anaknya. Allah swt. berfirman, “(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain dan Allah maha mendengar dan maha mengetahui * (ingatkah) ketika istri Imran berkata: Ya Tuhanku sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi anak yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah nadzar ini dariku. Sesungguhnya Engkaulah yang maha mendengar dan maha mengetahui * maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan: dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada pemeliharaan Engkau dari syetan yang terkutuk” (Ali Imraan 3 : 34-36)
Allâhau Akbar! Dia berdoa untuk anak dan juga keturunan dari anaknya. Apakah kita - sebagai orang tua dan pendidik - menyadari akan hal itu. Inilah doa yang beliau panjatkan dan hendaknya kita juga berdoa sebagaimana doanya ibu Maryam.
Ada salah seorang ibu yang sedang mengandung. Pada saat ia merasakan sakit dalam proses kelahiran anaknya, ia teringat doa ibu Maryam kepada anaknya seraya berucap, Ya, Allah aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada pemeliharaan Engkau dari syetan yang terkutuk.
Sang ibu berkata, “Aku melihat ketenangan, kebahagiaan dan kedamaian dalam diri anak itu yang tidak pernah aku lihat dalam diri kakak-kakaknya,”. Hanya kepada Allah segala puji, dan aku memohon agar Allah senantiasa menyertakan kebahagiaan kepadanya untuk selama-lamanya dan menjadikan dia penghibur hati dan penenang jiwa bagi kedua orangtuanya serta menjadi pejuang Islam dan umatnya.

BACA SELENGKAPNYA!

11/09/2007

Gapai Kasih Sayang Allah

Segala puji bagi Allah swt. yang telah menyematkan cinta dalam sanubari umat manusia. Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kehadirat baginda rasul Muhammad saw. yang telah menghantarkan umat manusia dari alam kebohongan, dunia yang haus akan cinta, kegelapan kasih sayang dan kubangan dosa menuju surga kejujuran, taman makrifat, kebun keyakinan, dan pekarangan iman.
Rasulullah saw. bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman dan iman kalian (tidak sempurna) hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan, jika kalian melakukannya, niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkan salam di antara kalian!” (HR Muslim)
Begitu indah ajaran yang dibawa Rasulullah saw, di mana beliau menjadikan rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama sebagai barometer kesempurnaan iman kepada Allah swt.. Lebih dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa cinta dan kasih sayang kepada sesama menjadi kunci pembuka pintu surga. Hal ini terlihat dengan jelas melalui kisah seorang lelaki yang selalu disebut-sebut Rasulullah saw. sebagai sosok penghuni surga di hadapan para sahabat.
Mendengar hal itu, tebersit dalam hati Ibnu Umar untuk mencari tahu perihal pria tersebut. Ia pun bermalam di rumahnya selama beberapa hari. Setelah beberapa malam berada di rumahnya, Ibnu Umat tidak mendapati sesuatu yang lebih dalam diri pria tersebut. Karena heran, Ibnu Umar-pun bertanya kepadanya amalan, yang dengannya Rasulullah saw. merasa bangga dan menyatakan, ‘lihatlah orang yang berada di pintu, dia adalah salah seorang penghuni surga '.
Pria itu pun berkata, “Sesungguhnya ketika aku beristirahat di malam hari, hatiku tidak lagi menyimpan iri atau dengki terhadap seorang muslim pun.”
Cinta dan kasih sayang, itulah yang menjadi kunci pria tersebut masuk surga. Karenanya, mari kita bangun tali cinta, persatuan dan kasih antar sesama. Hilangkan kedengkian, kebencian ataupun permusuhan yang selama ini terpendam dalam hati, karena semua itu hanya akan mendatangkan malapetaka, rasa duka yang tidak kunjung hilang, bahkan menjadi penghalang masuk ke dalam surga. Juga jangan lupa untuk membaca doa yang telah diajarkan Allah swt. dan rasul-Nya kepada kita, agar hati ini jangan sampai menyimpan ghill terhadap orang lain, terutama kepada umat Islam. Doa itu adalah, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."

BACA SELENGKAPNYA!

Nikmatnya Shalat Malam Bagi Salafush Shalih

Sesungguhnya seorang muslim yang benar-benar mencintai Allah swt. akan bangun dari tempat tidurnya dan berdoa kepada Tuhannya dengan penuh keyakinan bahwa setiap ucapan dan doa yang ia panjatkan kepada Tuhannya didengar oleh-Nya dan Allah swt. senantiasa melihat apa yang tergerak dalam hatinya. Jika ia benar-benar mencintai Tuhannya, tentu ia akan berdiri di keheningan malam dengan senang hati dan merasa nikmat dengan munajat yang ia panjatkan. Hal ini ditunjukkan dengan melaksanakan shalat di hadapan Tuhan seluruh makhluk. Bagaimana ia tidak melakukan hal itu, sementara ia mengetahui bahwa kebahagiaan, kesenangan dan kemuliaan hanya bisa dicapai manusia manakala mereka bermunajat kepada dzat yang Maha Agung di tengah malam. Terlebih lagi jika mereka mengetahui bahwasanya Allah swt. mendengar munajat dan doa yang mereka panjatkan dengan mengabulkan permintaan mereka.
Bagaimana hal ini tidak dilakukan, wahai saudaraku, sementara harapan kepada Allah swt. itu lebih bisa dipercaya dan Dia-lah yang lebih layak untuk diharapkan. Allah swt. telah melimpahkan nikmat-Nya kepada kita baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Allah swt. juga telah memberikan segala permohonan kita, meskipun tanpa diminta sebelumnya dan kita tidak mengetahui bagaimana kita mengajukan permohonan itu. Bagaimana kita tidak bisa merasa nikmat dan nyaman pada saat semua kebutuhan kita dipenuhi oleh Allah swt. di keheningan malam. Rasulullah saw. telah bersabda, "Sesungguhnya pada malam hari ada saat yang mana tidak ada seorang hamba yang bertepatan dengan saat itu seraya memohon kebaikan dunia dan akhirat kecuali Allah akan mengabulknnya, dan saat itu ada pada setiap malam"
Para salafus shâlih senantiasa beribadah kepada Allah swt. di malam hari dengan melaksanakan shalat. Allah-pun memberi kenikmatan kepada mereka pada saat mereka melakukan shalat malam, sehingga mereka merasa malam yang begitu panjang terasa sangat singkat sebagaimana perasaan itu muncul pada saat seseorang berduaan dengan sang kekasih yang dicintainya. Dalam hati mereka telah tertanam keimanan yang mendalam sehingga menumbuhkan luapan cinta yang mendorongnya untuk selalu bersanding dengan dzat yang Maha Kasih. Mereka juga rela begadang untuk melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an. Jika motivatornya semakin kuat, keinginannya kian membaja, harapan untuk menggapai pahala dzat yang Maha Kasih semakin meluap, tentu mereka akan semakin tergerak hatinya untuk bersegera memenuhi panggilan-Nya dengan menjalankan ketaatan, badannya semakin ringan untuk bangun dan duduk bersimpuh di hadapan-Nya dan segala kesulitannya pun akan terasa ringan.
Fudhail bin Iyad berkata, "Sesungguhnya aku menyambut kedatangan malam, dan aku merasa begitu lama malam itu tiba. Aku membuka al-Qur'an sampai malam tiba. Pada saat matahari terbenam, aku merasa bahagia dengan gelapnya malam, karena aku dapat bersanding berduaan dengan Tuhanku. Namun pada saat pagi menyingsing aku pun merasa sedih."
Ali bin Bakar seorang yang alim, arif dan imamnya ahli fiqh berkata, "Selama empat puluh tahun, tidak ada sesuatupun yang membuatku sedih selain terbitnya fajar." Beliau ditanya, "Bagaimana keadaanmu dan malam harimu? Beliau menjawab, 'Ada saat yang membuatku pada dua kondisi: aku merasa bahagia dengan datangnya malam, namun pada saat pagi menyingsing, perasaan itupun berubah menjadi sedih, sehingga kebahagiaan yang aku rasakan tidak pernah sempurna."

BACA SELENGKAPNYA!

10/27/2007

Sahabatmu; Surgamu ataukah Nerakamu

Perlu kiranya kita melihat teman-teman yang selalu berada di antara, karena mereka akan selalu mengikuti setiap saat dalam perjalanan kita. Perlu kita ingat bahwa seseorang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mencari teman sama halnya dengan mencari surga ataupun neraka.
Berkaitan dengan hal ini, perlu kiranya kita melihat kembali dua contoh persahabatan di masa Rasulullah saw., yang pertama adalah sahabat yang buruk, yang menghancurkan sahabatnya hingga masuk ke neraka, dan kedua adalah sahabat yang Shalih, yang memberi kebahagiaan kepada temannya, dan menghantarkannya ke surga.
1. Uqbah bin Abu Mu`ith
Uqbah adalah sahabat dekat Abu Jahal Amru bin Hisyam. Dalam suatu kesempatan, Abu jahal melakukan perjalanan jauh. Pada saat yang bersamaan Uqbah bin bin Abu Mu`idz mendengar Rasulullah saw. sedang membca al-Qur`an. Saat itulah, ia tertarik pada Islam dan mengikrarkan diri menjadi bagian dari umat Rasulullah saw.
Saat Abu Jahal kembali dari perjalanannya, ia menemui Uqbah dan mengingatkan kepadanya agar tidak sampai meretakkan tali persahabatan yang telah terjalin. Ia juga menyuruhnya untuk menemui Rasulullah saw. dan meludahinya. Uqbah pun merenung sejenak, membandingkan antara ke duanya; tetap dengan keyakinan barunya, Islam ataukah kembali pada kekufuran dan tetap bersahabat dengan Abu Jahal. Hingga pada akhirnya ia menentukan pilihannya untuk kembali pada Abu Jahal dan menentang ajaran Rasulullah saw. serta menyakiti beliau. Tidak ada orang yang paling kejam dan paling keras memusuhi Rasulullah saw. yang sepadan dengannya. Berkenaan dengan hal ini, Allah swt. menurunkan ayat, "Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari al-Qur`an ketika al-Qur`an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (al-Furqân [25] : 28-29)
Inilah kerugian besar yang dialami Uqbah bin Abu Mu`ith, baik di dunia maupun di akhirat. Diapun masuk ke dalam neraka sebab sahabatnya, Abu Jahal.
2. Iyasy bin Abu Rabi`ah
Iyasy adalah sahabat Umar bin Khatab. Saat mereka berdua hijrah dari Mekah menuju Madinah, di tengah perjalanan ia disusul oleh Abu Jahal karena ia tergolong orang yang terpandang, dan Abu Jahal merasa khawatir jika hijrahnya ke Madinah akan diikuti penduduk Mekah. Abu Jahal mengejarnya di belakang sambil memanggil, lalu berkata kepadanya, "Ibumu telah berjanji untuk tidak makan, tidak mau masuk ke dalam rumah, dan tidak akan mandi sampai engkau kembali menemuinya."
Saat itu, Iyas menaiki kuda bersama Umar bin Khatab dan berada dibelakangnya. Seketika itu juga, Iyasy ingin melompat dan menemui ibunya. Umar berkata kepadanya, "Jangan engkau khawatirkan keadaan ibumu, jika ia merasa kepanasan, pasti ia akan masuk ke dalam rumah dan jika kutu telah banyak di kepalanya, pasti ia akan mandi." Tapi Iyas tetap ingin menemui ibumu. Lantas Umar berkata kepadanya, "Bawalah unta ini dan temui ibumu, setelah itu susul aku ke Madinah!"
Sesampainya di Mekah, Iyas mendapat siksaan dari kaumnya sampai ia menanggalkan keyakinannya terhadap Islam dan kembali pada kekufuran.
Umar bin Khatab tidak pernah putus asa untuk mengajaknya kembali pada Islam. Sampai setiap kali ada ayat yang turun, ia mengirimkannya kepada Iyas. Salah satu ayat yang dikirim Umar kepadanya adalah firman Allah swt., "Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (az-Zumar [39] : 53)
Ayat ini sampai juga ke tangan Iyasy dan iapun membacanya. Saat itulah ia menangis dan segera mengambil kuda lalu menungganginya untuk menyusul Umar bin Khatab ke Madinah dan kembali pada pangkuan Islam. Dia selamat dari api neraka karena sahabatnya.
Kesimpulannya, kalau kita menginginkan kebahagiaan, kedamaian, dan selamat dunia akhirat, kita mesti memilih teman yang shalih yang sealu mendorong kita untuk melakukan kebajikan dan mengabdi dengan sesungguhnya kepada Rabb semesta alam. Namun, kalau kita memilih kesengseraan, kegelisahaan dan dihinggapai rasa was-was, maka ...

BACA SELENGKAPNYA!

10/18/2007

Meneladani Dakwah Rasulullah

Dakwah memiliki kiat dan cara tersendiri sebagaimana layaknya seorang ahli bengunan yang dituntut untuk memiliki keahlian dalam bidang bangunan. Juga seorang insinyur yang harus memiliki kepandaian dalam merancang. Seorang dai harus memperhatikan dakwahnya dan memiliki beberapa kiat sehingga apa yang disampaikanya dapat diterima dengan baik oleh mad’u dan mengena, karena dakwah adalah warisan Rasulullah saw. Karena itu, sudah semestinya seorang dai harus mempelajari bagaimana dakwah harus diemban, unsur penopangnya, dan hasil yang ingin dicapai. Kekuatan iman kepada Allah swt. harus tertanam dalam diri seorang dai, dan tahan atas segala tantangan yang menghadangnya, karena dakwah merupakan warisan dan amanah yang diembankan para nabi dan rasul, dan mereka adalah sosok manusia yang senantiasa memegang amanah dan begitu tabah saat ujian, musibah dan rintangan ketika menyampaikan dakwahnya.
Dari pemahaman di atas dapat dikatakan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh seorang dai akan sangat berpengaruh sekali terhadap umat yang didakwahinya. Apa langkah dan kiat yang mesti kita –sebagai seorang dai- dipersiapkan agar dakwah kita dapat diterima dan bisa membawa atsar yang positif terhadap uamt yang kita dakwahi. Berikut 30 kita yang dapat dapat mendukung kesuksesan dalam dakwah yang kita jalani, sebagaimana yang diuraikan oleh Dr Aid Abdullah al-Qarny dalam buku beliau yang bertajuk “Tsalatsuuna waqfah fi fannid dakwah”:
Ingin memiliki bukunya yang sudah diterjemahkan? Silahkan dowload di sini. Gratis 100%.

BACA SELENGKAPNYA!

Kesuksesan yang Hakiki

Dalam hidup di alam yang fana ini, kita harus menentukan tujuan hidup yang yang kita jalani. Dan tujuan yang ingin kita gapai mesti mempunyai nilai yang tinggi, karena hidup amatlah mahal dan tidak ada kata kembali saat mengucapkan selamat berpisah padanya. Tidak ada penyesalan yang paling besar dan tidak bisa diganti dengan apapun selain penyesalan atas umur (yang tersia-siakan).
Untuk itulah, sudah seharusnya tujuan hidup bagi seorang muslim adalah keridhaan Allah swt., kasih sayang dan juga surga-Nya. Suatu ketika, Rasulullah saw. pernah meminta kepada seorang pemuda untuk mengemukakan keinginan yang terpendam dalam lubuk hatinya. Sang pemuda pun meminta Rasulullah saw. agar diberi waktu sejenak untuk berpikir. Ia berkata pada dirinya sendiri, semua kenikmatan dunia akan sirna. Setelah itu, ia kembali menemui Rasulullah dan berkata kepada beliau., "Wahai Rasulullah, aku minta kiranya kelak aku dapat berkumpul bersamamu di surga."
"Apakah engkau mempunyai permintaan yang lain?" tanya Rasulullah.
"Tidak, aku tidak menginginkan apapun selain itu, wahai Rasulullah," jawab pemuda itu.
Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Kalau begitu, bantulah aku agar dapat menolongmu dengan memperbanyak sujud."
Begitu tinggi dan agung tujuan hidup yang telah ditetapkan oleh pemuda ini. Lantas, apakah kita telah menentukan tujuan dari kehidupan yang kita jalani sebagaimana tujuan hidup yang telah ditetapkan oleh sang pemuda ini? Ketahuilah bahwa dengan menentukan tujuan dari kehidupan yang kita jalani sekarang, ia dapat meringankan beban derita yang kerap kali menimpa kita, juga dapat menjadikan hidup ini lebih bernilai dan berarti.
Setiap orang yang berakal, ia akan menentukan tujuan hidupnya dalam setiap langkah kakinya. Ia tidak akan berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dalam setiap aktivitas pasti ada tujuan yang ingin dicapai, begitu halnya dengan sebuah pernikahan. Dan dibalik semua tujuan itu, ada tujuan inti dan yang paling utama yaitu menggapai keridhaan Allah swt. dan surga-Nya. Tentunya, untuk menggapai tujuan itu perlu disertai dengan mujahadah (keseriusan) dan pengorbanan. Lantas apakah kita sudah menentukan tujuan hidup yang kita jalani, dan sudahkah kita berkorban untuk menggapainya?
Dalam buku yang berjudul “Raahatu Qulubisy Syabaab” buah karya Amru Khalid diuraikan beberapa hal yang mesti menjadi tujuan dalam hidup yang kita jalani, juga beberapa kiat agar kita mampu menjalani keidupan –apapun keadaannya-dengan lapang dada dan uapaya meningkatkan keyakian kita Alah swt.
Tertarik untuk memiliki bukunya yang telah diterjemahkan? Silakan dowload di sini. Gratis 100%.

BACA SELENGKAPNYA!

10/10/2007

Saat Lebaran Tiba

Menyambut hari raya bukanlah dengan mengenakan pakaian serba baru, bukan pula dengan berbangga diri, mengisi hari-hari dengan nyanyian, hiburan, atau kegiatan yang tidak bermanfaat. Menyambut hari raya harus diwujudkan dengan memanjatkan syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan; yang telah memberikan kemampuan untuk bisa melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadhan dan dengan saling bersilaturahmi di antara sesama.
Saat kita berhari raya (idul fitri) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
  1. Makan terlebih dahulu di pagi hari ‘idul fitri sebelum melaksanakan shalat ‘id. Makannya cukup dengan mencicipi beberapa butir kurma ataupun makanan yang ada sebagai tanda kepatuhan terhadap perintah Allah untuk berbuka, sebagaimana kepatuhan kita kepada-Nya untuk menjalankan puasa.
  2. Mengeluarkan zakat fitrah yang berfungsi menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan hina dan kotor, juga berguna untuk membantu orang-orang fakir, menghidupkan nuansa saling tolong-menolong dan saling berkasih-sayang di antara kaum muslimin, menyucikan jiwa, dan menghilangkan sifat bakhil.
  3. Mengenakan pakaian yang paling bagus yang kita miliki punya dan memakai wewangian sebagai pengakuan diri atas keindahan zat Yang Maha Indah, Maha berkah dan Mahatinggi, serta berhias untuk-Nya, karena Allah swt. itu indah dan mencintai keindahan. Di samping itu, berfungsi untuk menampakkan karunia Allah swt. yang diberikan kepadanya. Dalam hadits hasan, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah senang melihat nikmat-Nya tampak pada diri hamba-Nya.” HR Tirmidzi
  4. Hendaknya kita saling mengunjungi, saling berucap salam, saling mengikhlaskan, dan saling mengasihi.
  5. Saat hari raya tiba, kita sebagai umat Islam menyambutnya dengan suka cita, tapi tetap harus tetap dalam bingkai syariat, tidak terlalu berlebihan; bercanda dengan santun, berkelakar dengan lembut, senyum yang ramah, berekreasi ke tempat yang mubah (tidak melanggar syariat), dan mampu menjadikan tempat rekreasi sebagai sarana untuk memikirkan kuasa Allah atas alam ciptaan-Nya yang begitu indah sehingga imanpun dapat semakin kuat dan ketakwaan kepada-kian semakin meningkat.
  6. Hari raya mengingatkan kita pada hari dibangkitkannya manusia dari alam kubur, saat seluruh manusia dikumpulkan; yang kaya dan yang miskin, yang besar dan yang kecil, yang memimpin dan yang dipimpin, yang beruntung dan yang sengsara, juga yang bahagia dan yang sedih untuk mempertanggungjawabkan segala sepak terjang dan prilaku semasa hidup di dunia.
Setelah semalam penuh kita mengagungkan asma Allah dengan melafalkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil, di pagi harinya kita pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat hari raya. Dan seusai kita melaksanakan shalat ‘id, kita kembali ke rumah masing-masing, dan di antara mereka yang turut shalat, ada dua kelompok manusia:
Pertama, kelompok yang beruntung dan berbahagia. Mereka yang memperoleh pahala dan mendapat ridha Allah. Allah swt. berfirman kepada mereka, “Pulanglah kalian dalam keadaan telah diampuni; sungguh kalian telah ridha kepada-Ku, dan Aku pun ridha kepada kalian.”
Yang kedua, kelompok yang merugi, di mana ia kembali dengan putus asa, kerugian, penyesalan, dan nasib yang buruk.
Ada seorang yang saleh pernah lewat di depan sekelompok orang yang gemar bermain dan berhura-hura di hari raya, ia berkata kepada mereka, “Jika kalian beramal baik di bulan Ramadhan, maka ini bukan cara bersyukur yang baik; sedangkan jika kalian beramal buruk di bulan Ramadhan, maka bukan begini cara bersikap orang-orang yang telah berbuat buruk kepada zat yang Maha Pengasih.”
Umar bin Abdul Aziz pernah melihat sekelompok orang yang berlomba-lomba dalam penampilan dan kendaraan mereka sepulangnya dari wuquf di padang ‘Arafah, seiring terbenamnya matahari. Umar pun berkata, “Bukanlah pemenang di hari ini orang yang kuda atau untanya lebih unggul, tapi seorang pemenang adalah orang yang dosa-dosanya diampuni.”
Saudaraku, kita mesti merenungkan kembali orang-orang shalat ‘id bersama kita pada hari raya yang telah berlalu; Ayah dan ibu, kakek dan nenek, orang-orang yang kita cintai, dan kawan-kawan. Di manakah mereka saat ini? Ke manakah mereka pergi? Ke manakah mereka pindah? Karena itu, mari kita siapkan bekal untuk melanjutkan perjalanan menyusul mereka yang berangkat lebih dulu.
Ya Allah terimalah amal ibadah kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dan ampunilah segala dosa kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.

BACA SELENGKAPNYA!

9/30/2007

Sahabat Sejati

Tidak sedikit orang yang telah kita kenal, tidak sedikit pula yang telah menjalin hubungan dengan kita, tetapi sedikit dari mereka yang kita jadikan sebagai teman, dan lebih sedikit lagi yang menjadi teman sejati, tulus dan setia. Teman yang sejati adalah sandaran dan penopang setia -setelah kasih sayang dan pertolongan Allah swt.- dalam menghadapi kesusahan hidup, menyingkap tabir derita dan kesedihan, serta dalam menggapai cita-cita dan harapan. Rasulullah saw. bersabda, “Manusia bagaikan kawanan unta yang berjumlah seratus, namun hampir tidak ada yang layak menjadi tunggangan musafir.” HR Bukhari
Demikianlah seorang sahabat yang sejati, sungguh teramat sulit bagi kita untuk menjumpainya, meski dari seratus orang yang telah kita kenal.
Sahabat sejati adalah tumpuan kita untuk berbagi cerita dan problem-problem pribadi tanpa risih. Ia tidak mungkin gembira atas bencana yang melanda kita. Sebaliknya, ia sangat empati atas apa yang terjadi. Problem yang sedang kita hadapi menurutnya adalah problem dirinya juga. Sahabat sejati adalah sosok yang selalu mempersembahkan kejutan dengan melakukan tindakan demi kita tanpa diketahui oleh kita dan orang lain.
Sahabat-sahabat adalah investor-investor ketenteraman, keamanan, dan support setia bagi kita. Inilah yang menjadi modal utama dalam mewujudkan kehidupan yang bahagia. Para sahabat adalah tameng kita dari krisis dan kekisruhan perasaan yang mungkin menerpa kita. Bahkan tidak dapat disangkal, bahwa sekian banyak kekisruhan hati dan perasaan yang dihadapi seseorang disebabkan oleh minimnya dukungan dan sokongan persaudaraan dari orang-orang sekitar.
Jika kita menemukan seorang sahabat sejati, maka jagalah ia sepenuh hati. Jangan cemari tali persahabatan dengannya hanya karena hal yang sepele. Hargai setinggi-tingginya segala kebaikan dan ketulusan yang pernah dipersembahkannya untuk kita, agar ia merasakan bahwa pengorbanan yang dilakukannya untuk kita tidak sia-sia. Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang mencintai saudaranya karena Allah, maka beritakan hal itu kepadanya, karena yang demikian akan membuat kasih sayang semakin lestari dan kecintaan semakin kokoh.” HR Abu Daud
Seorang bijak berkata, seorang tetangga berkata kepadaku, sahabat di kala susah, itu yang aku mau. Jika aku dalam kesulitan, aku akan datang kepadamu. Dan, jika kamu juga membutuhkanku, aku tepati diriku sebagai teman yang tulus untukmu. Setelah berpikir sejenak, aku genggam tangannya dan kukatakan kepadanya, Wahai sahabat, teman yang sejati adalah sandaran hati setiap saat jika diperlukan, bukan terbatas pada saat-saat susah semata.
Barangkali ada di antara kita yang tidak pernah mengecap kebahagiaan melalui tali persahabatan. Hal itu karena rasa saling percaya antara sesama sudah mulai usang. Sifat buruk sangka terhadap orang lain mengakibatkan kita sulit menaruh kepercayaan buat orang lain, sebaliknya orang lain juga sulit memercayai kita disebabkan perangai kita yang tidak terpuji. Atau mungkin, pertimbangan manfaat telah mendasari persahabatan kita kepada orang lain, hingga kita tidak dapat mengecap madu persahabatan. Kita anggap persahabatan bagaikan sapi perahan yang selalu dimanfaatkan. Maka, orang-orang seperti ini justru akan menuai keterasingan penuh sepi meski mereka berada di tengah-tengah keluarga dan kerabat.

BACA SELENGKAPNYA!

Kearifan dalam Mengarungi Kehidupan

Roda kehidupan tidak selamanya indah, menyenangkan dan berjalan sesuai keinginan. Situasi-situasi getir, sedih dan tidak terbayangkan pasti mewarnai kehidupan. Di sinilah letak sebuah ujian bagi kita dalam menjalani kehidupan yang penuh romantika ini. Dengan memahami hakikat kehidupan seperti ini, kita akan menyadari bahwa posisi kita terhadap kebahagiaan dan ketenteraman bukanlah seperti seseorang yang sedang berbaring di bawah pohon menanti buah-buahnya yang lezat berjatuhan ke mulutnya. Kemiskinan, problem kesehatan, konflik keluarga, persaingan dalam bekerja, dan seterusnya adalah kegelisahan-kegelisahan hidup yang mungkin saja terjadi. Kita harus sadar, bahwa bahagia bukanlah hadiah yang diberikan dengan cuma-cuma buat kita tanpa rintangan. Bahagia adalah sesuatu yang mesti kita gapai dengan usaha dan penuh perjuangan.Dalam menghadapi romantika kehidupan ini, kita dituntut untuk bekerja keras, dan berusaha secara tekun demi mewujudkan suka cita dalam kehidupan. Tetapi, dalam waktu yang sama kita juga dituntut untuk mampu menerima duka deritanya.
Kearifan merupakan modal utama kita dalam bersikap dan bertindak. Kapan kita harus bersikap keras tanpa toleransi dan kapan sikap kita harus lunak dan penuh penerimaan. Ketika kita harus berhadapan dengan realitas yang tidak bisa ditolerir, maka kita dituntut bersikap keras bahkan bila perlu, penuh perlawanan. Sebaliknya, ketika kita dihadapkan pada realitas yang tidak berguna jika diperpanjang, maka kita dituntut untuk bersikap legowo.

BACA SELENGKAPNYA!

Ikat Hati Dengan Iman

Setiap peristiwa memiliki bayang-bayang yang melatarinya. Bayang-bayang tersebut kita goreskan sesuai pemahaman kita tentang kehidupan itu sendiri.
Kebanyakan peristiwa, mengandung beberapa penafsiran yang berbeda-beda, bahkan saling kontradiktif. Maka, seyogyanya kita memberikan tafsir yang berlandaskan akidah, prinsip-prinsip, dan norma-norma yang kita yakini, serta tafsir yang dapat meringankan kesulitan-kesulitan hidup dan menenteramkan jiwa.
Mati adalah suatu peristiwa yang tidak dapat dipungkiri. Banyak orang –bahkan mereka yang menderita- memandang kematian adalah akhir dari kehidupan yang dicintai dan menyenangkan. Mereka memandang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelah kematian merupakan sesuatu yang menakutkan. Tetapi bagi kita, kematian justru merupakan pintu kenikmatan-kenikmatan yang sangat besar. Sedangkan kehidupan yang sekarang kita jalani justru menjadi penghalang antara kita dan kenikmatan akhirat. Mari kita simak petuah yang pernah disampaikan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, “Jangan kamu iri hati kepada orang-orang yang masih hidup, kecuali atas sesuatu yang kamu merasa iri meski mereka sudah mati.”Maksud petuah ini adalah jika Anda iri terhadap seseorang, bayangkan, apakah orang itu masih layak Anda iri setelah dia meninggal dunia? Jika masih layak, maka tidak mengapa Anda iri kepadanya selagi hidupnya. Tetapi, jika orang itu meninggal dunia, sementara tidak ada yang patut Anda iri darinya, maka jangan Anda iri atas hidupnya. Abu Bakar ra. melandaskan petuah ini pada keyakinan yang kuat, bahwasanya dunia dan segala kenikmatan, kesenangan, dan kegembiraannya hanyalah sementara dan pasti akan berakhir. Andai semua orang berpikir seperti ini, tentu tidak ada orang yang iri terhadap orang lain dalam perkara dunia. Tetapi, sungguh sulit dan amat sulit!
Seorang laki-laki yang berusia delapan puluh tahun menulis surat kepada seorang laki-laki yang berusia enam puluh tahun. Setelah ucapan selamat atas umur dan kesehatan, ia berkata, “Kamu sekarang bersiap-siap menapaki hidup pasca enam puluh tahun. Banyak pelajaran dan pengalaman telah kamu dapatkan, yang mampu menuntun hidupmu dan membantu orang lain. Wahai sahabat, saat ini kamu akan mengerti sebagaimana diriku juga telah mengerti bahwasanya fase terpenting dari kehidupan adalah rentang waktu antara enam puluh sampai delapan puluh tahun. Jangan pernah terlintas dipikiranmu, kamu telah mendekati akhir. Ketahuilah, dirimu sekarang justru sedang menapaki permulaan yang baru. Jika ini kamu camkan dalam dirimu, niscaya sikapmu akan berubah secara total. Kamu juga akan menjemput masa depan yang lebih cemerlang.”
Kemudian laki-laki itu menegaskan, “Setiap orang diperkenankan untuk menjalani kehidupan dengan segala kenikmatannya, namun dalam waktu yang sama ia juga harus siap menghadapi segala kesulitannya. Terlepas dari itu semua, kamu harus menyadari, kehidupan adalah pijakan untuk menggapai hal-hal yang lebih mulia dan lebih indah di akhirat kelak.”
Inilah wujud dari sebuah pikiran cemerlang dan kemampuan mengarahkan pengetahuan yang akan menggandakan kekuatan serta ketenteraman hidup kita.

BACA SELENGKAPNYA!

9/23/2007

Naungi Dirimu dengan Iman

Para salafus-saleh (ulama-ulama terdahulu) memandang ayat-ayat dan hadits-hadits tentang keberadaan Allah swt. yang Maha Dekat lagi Maha Mengetahui perkara-perkara hamba-Nya, agar menjadi pijakan setiap muslim dalam bekerja dan menjadi penangkal dari dosa dan perbuatan hina. Mereka meyakini, bahwa iman yang benar dan sejati merupakan sumber kebahagiaan, ketenteraman, kekuatan, dan cambuk melawan kesulitan hidup. Dan hal ini dapat kita saksikan dari kisah-kisah perjalanan hidup tokoh-tokoh Islam dulu dan sekarang.Salah seorang dari mereka meriwayatkan, suatu ketika aku menemui Muhammad bin Nadhir Al-Haritsi, raut mukanya berubah seakan menyiratkan tanda-tanda gelisah. Kemudian aku berkata, “Sepertinya Anda tidak ingin dikunjungi?” Ia menjawab, “Iya”. Aku bertanya lagi, “Apakah kamu tidak merasa sepi dan takut” Ia menjawab, “Bagaimana aku takut, padahal Allah berfirman dalam hadits qudsi, ‘Aku bersama orang yang mengingat-Ku’”.
Hubaib Abu Muhammad sedang berkhalwat (menyendiri) di rumahnya, kemudian ia berkata, “Siapa yang tidak merasa gembira dengan-Mu, maka ia akan jauh dari kegembiraan itu. Dan siapa yang tidak bahagia bersama-Mu, maka ia akan jauh dari kebahagiaan itu”. Ma’ruf, seorang ‘abid (ahli ibadah) berkata kepada seseorang: “Bertawakkallah kepada Allah sehingga Dia menjadi teman penyejuk hatimu, menjadi tempat kamu mengadu serta mengabulkan segala permintaanmu”.
Kelezatan bermunajat dalam kebersamaan Allah adalah kunci spiritual yang mesti kita tumbuhkan dalam rangka menghadapi gelombang hedonisme yang semakin tumbuh mekar di tengah-tengah masyarakat modern saat ini. Orang yang mengejar kepuasan dunia bagaikan meminum air laut, semakin ia minum semakin bertambah hausnya.

BACA SELENGKAPNYA!

Mempersempit Ruang Kesombongan

Sombong lebih dekat dengan ‘ujub (merasa bangga diri). kesombongan adalah nafsu yang diperturutkan tanpa koreksi dan upaya untuk membedakan yang benar dan salah, baik dan buruk.
Allah swt. mencap setan sebagai orang yang sombong dan teperdaya. Manusia yang memiliki sifat sombong ini berarti telah mengikuti jejak langkah setan dan tunduk pada bujuk rayunya yang menipu. Ini adalah kekalahan manusia di hadapan genderang kejahatan yang dihembuskan oleh setan.
Kesombongan sangat tercela dan menjijikkan, karena ia menyakiti pelakunya dari segala penjuru. Orang yang sombong tidak mampu mengakui kesalahan perilakunya, pergaulan dan pendapatnya. Ia juga tidak mau mengakui kelemahannya, sehingga orang lain pun tidak bisa menolongnya dari kelemahan itu.
Orang yang sombong cenderung memandang sebelah mata terhadap orang lain, mudah merasa puas atas sedikit prestasi yang dicapainya, dan merasa tinggi akan kualitas pribadinya. Kesombongan memiliki hubungan erat dengan egoisme.
Kesombongan menciptakan kegelisahan pada pelakunya dan mencederai hubungan bersosial. Seseorang yang sombong selalu menganggap dan membayangkan orang lain patuh kepadanya, memujinya, merasa lemah, dan sangat membutuhkannya.
Seorang bijak berkata, “Saat paling berbahaya adalah detik-detik kemenangan, karena ia bisa menjelma menjadi awal kematian dan kekalahan jika perasaan sombong mulai menerpa. Virus kesuksesan adalah keyakinan mencapai ujung jalan, padahal jalan kesuksesan dan prestasi mempunyai awal yang tiada berakhir.”
Dalam diri kita terdapat ruang kesombongan bertahta dan bersemayam. Karena itu kita wajib menjaga ruang itu agar tidak semakin luas dan semakin lebar.
Kehidupan ada batasnya meski sepanjang apapun. Begitu juga dengan kesombongan, ia tak ubahnya dari tetesan-tetesan air yang tiada berarti di samudera zaman yang luas ini.
Wahai orang yang sombong dan tertipu, kamu sakiti dirimu dengan sikapmu yang keliru itu. Sesungguhnya waktu berjalan sesuai kecepatan dan arah tujuannya, tanpa menggubris kesombonganmu dan orang selainmu.

BACA SELENGKAPNYA!

Jangan Galau dan Gelisah

Sobat, kita mesti menyadari bahwa kegelisahan tidak hanya mempecundangi kesenangan yang terbayang di hari esok, tetapi kegelisahan juga telah melucuti kegembiraan yang terpatri hari ini. Jika demikian, maka keyakinan atas pertolongan Allah, kepasrahan kepada-Nya, iman atas qadha dan qadar-Nya, serta tetap menjaga perintah-perintah-Nya merupakan obat penawar yang mampu mengusir kegelisahan dan kesedihan yang bersarang di dalam diri seorang muslim, sehingga asa dan tekad kembali terwujud.
Kita semua tahu bahwa kesulitan hidup dan musibah tidak akan pernah luput dari kehidupan kita. Karena itu, apapun yang terjadi dalam diri kita, sepatutnya kita menghadapinya dengan pikiran jernih bukan dengan pikiran gelisah. Perlu sobat ketahui bahwa kegagalan kita dalam mengatasi problematika yang kita hadapi seringkali diakibatkan oleh ketidakseriusan kita memikirkan solusi itu dan kegelisahan yang berlebihan.
Sobat dapat melihat pribadi-pribadi yang terserang penyakit gelisah ini, di mana ia akan menutup pintu untuk mendiskusikan apapun yang tengah terjadi padanya. Ia menyerah tanpa syarat pada kegelisahan dan kecemasan yang menghantuinya. Ia merasakan bahwa kekhawatiran dan ketakutannya akan terjadi, sehingga tiada berguna untuk memikirkannya. Hal seperti ini merupakan kesalahan yang fatal dari seorang yang gelisah.
Kala hati disesaki oleh kesedihan yang melampaui batas karena gagal mewujudkan cita-cita –umpamanya-, berusahalah untuk melepaskan belenggu itu. tanamkan optimisme dalam menatap kehidupan, jalani dengan penuh keyakinan, usir kegelisahan, dan persempit ruang geraknya. Tidak ada kesedihan yang akan abadi di dunia ini, semua hanya bersifat sementara dan tidak bertahan lama. Sebesar apapun bencana yang menimpa, semua itu tidak lebih dari pusaran air yang sedang mendidih di dalam periuk. Ia akan berakhir dan berangsur-angsur kembali seperti semula. Ketahuilah bahwasanya diri kita hanyalah bagian terkecil dari alam ini. Karena itu, jangan terlampau memandang besar bencana yang tengah kita hadapi, sebab sebesar apapun permasalahan yang menimpa –dalam pandangan kita- pasti semuanya dapat terselesaikan. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-BAqarah [2] : 286).

BACA SELENGKAPNYA!